NusantaraGlobal – Pada akhir September 2020, konflik bersenjata antara Armenia dan Azerbaijan kembali meletus di wilayah Nagorno-Karabakh, daerah pegunungan yang secara internasional diakui sebagai bagian dari Azerbaijan namun dikuasai oleh etnis Armenia. Konflik Armenia dan Azerbaijan ini menjadi eskalasi terbesar sejak gencatan senjata pada tahun 1994, yang sebelumnya mengakhiri perang berdarah selama enam tahun.

Pertikaian yang pecah pada 27 September 2020 ditandai dengan serangan artileri dan udara yang intens dari kedua belah pihak. Azerbaijan menuduh Armenia melakukan agresi terhadap wilayahnya, sementara Armenia menyatakan bahwa serangan tersebut merupakan balasan atas provokasi dari Azerbaijan. Bentrokan ini menyebabkan ratusan korban jiwa, termasuk warga sipil.
Kembalinya konflik di Nagorno-Karabakh menarik perhatian dunia internasional, karena wilayah ini telah lama menjadi sumber ketegangan geopolitik antara dua negara Kaukasus tersebut. Negara-negara besar seperti Rusia, Turki, Prancis, dan Iran segera menyerukan gencatan senjata dan dialog damai, namun pertempuran terus berlanjut selama beberapa minggu.
Sejarah Panjang Perebutan Wilayah Nagorno-Karabakh
Nagorno-Karabakh telah menjadi wilayah sengketa sejak masa Uni Soviet. Saat itu, daerah ini diberikan kepada Republik Sosialis Soviet Azerbaijan, meskipun mayoritas penduduknya merupakan etnis Armenia. Setelah Uni Soviet runtuh pada awal 1990-an, konflik memanas dan pecah menjadi perang besar antara Armenia dan Azerbaijan.
Perang pertama Nagorno-Karabakh (1988–1994) menewaskan sekitar 30.000 orang dan memaksa lebih dari satu juta orang mengungsi. Armenia akhirnya mengambil kendali atas wilayah tersebut, termasuk beberapa daerah di luar batas resmi Nagorno-Karabakh. Gencatan senjata pada tahun 1994 tidak pernah menghasilkan perjanjian damai yang permanen.
Sejak itu, konflik beku (frozen conflict) terus berlangsung, dengan bentrokan kecil yang sesekali terjadi di sepanjang garis depan. Namun, tidak ada solusi diplomatik yang berhasil dicapai, karena kedua belah pihak bersikeras mempertahankan klaimnya atas wilayah tersebut. Situasi ini menciptakan ketegangan konstan yang akhirnya meletus kembali pada 2020.
Peran Negara Asing dan Dampak Geopolitik Regional
Konflik Armenia dan Azerbaijan tidak hanya menjadi isu bilateral, tetapi juga memiliki dampak geopolitik yang luas. Turki secara terbuka mendukung Azerbaijan, memberikan dukungan militer dan politik yang kuat. Sementara itu, Rusia, sekutu tradisional Armenia, memiliki pangkalan militer di negara tersebut dan berperan sebagai penengah dalam konflik.
Keterlibatan kekuatan regional dan internasional membuat konflik ini menjadi lebih kompleks. Iran, yang berbatasan langsung dengan kedua negara, menyerukan netralitas dan mengusulkan dialog damai. Uni Eropa dan Amerika Serikat juga menyatakan keprihatinan terhadap eskalasi kekerasan dan dampaknya terhadap stabilitas kawasan Kaukasus.
Selain itu, laporan tentang penggunaan drone bersenjata, sistem rudal canggih, dan militan asing memperlihatkan bahwa konflik ini telah berkembang menjadi perang berteknologi tinggi yang dipengaruhi oleh kekuatan eksternal. Hal ini meningkatkan kekhawatiran bahwa konflik bisa meluas di luar batas kedua negara jika tidak segera ditangani secara diplomatis.

Dampak Kemanusiaan dan Krisis Pengungsi
Konflik Armenia dan Azerbaijan di Nagorno-Karabakh menyebabkan krisis kemanusiaan yang cukup parah. Serangan terhadap wilayah sipil menewaskan dan melukai ratusan warga, serta menghancurkan infrastruktur seperti sekolah, rumah sakit, dan tempat ibadah. Banyak keluarga kehilangan tempat tinggal dan terpaksa mengungsi ke wilayah yang lebih aman.
Lembaga bantuan internasional seperti Palang Merah Internasional dan PBB mengungkapkan keprihatinan terhadap keselamatan warga sipil dan akses terhadap bantuan kemanusiaan. Namun, medan perang yang berbahaya dan terbatasnya koridor kemanusiaan membuat pengiriman bantuan menjadi sulit. Anak-anak dan orang tua menjadi kelompok yang paling rentan dalam situasi ini.
Selain kerusakan fisik, konflik ini juga meninggalkan trauma psikologis mendalam bagi para korban. Pendidikan terganggu, aktivitas ekonomi terhenti, dan masyarakat hidup dalam ketakutan. Krisis ini mengingatkan dunia akan pentingnya penyelesaian damai dan perlindungan terhadap warga sipil dalam setiap konflik bersenjata.
Upaya Gencatan Senjata dan Prospek Perdamaian
Setelah berminggu-minggu Konflik Armenia dan Azerbaijan, akhirnya gencatan senjata difasilitasi oleh Rusia pada November 2020. Perjanjian tersebut mengakhiri perang selama 44 hari dan memberikan keuntungan signifikan bagi Azerbaijan, yang berhasil merebut kembali sebagian besar wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Armenia. Armenia setuju untuk menarik pasukannya dari wilayah yang disengketakan.
Dalam kesepakatan itu, pasukan penjaga perdamaian Rusia dikerahkan ke wilayah tersebut untuk memastikan keamanan dan stabilitas. Meski demikian, ketegangan masih tinggi dan banyak warga Armenia merasa tidak puas dengan hasil perjanjian. Demonstrasi anti-pemerintah pun terjadi di Yerevan sebagai bentuk protes terhadap kekalahan tersebut.
Meskipun gencatan senjata telah diberlakukan, prospek perdamaian jangka panjang masih belum pasti. Kedua negara perlu membangun kepercayaan dan memulai dialog yang lebih terbuka. Komunitas internasional diharapkan terus memainkan peran aktif dalam mendorong solusi politik yang adil dan berkelanjutan bagi Nagorno-Karabakh.