Awal tahun sering kali jadi momen penuh harapan, tapi di Indonesia, sayangnya, beberapa tahun terakhir dibuka dengan bencana Banjir Jakarta. Dua peristiwa yang masih membekas di ingatan banyak orang adalah banjir besar di Jakarta tahun 2020 dan gempa yang mengguncang Sumba pada 2021. Keduanya jadi pengingat keras bahwa Indonesia memang negara yang rawan bencana, dan mitigasi bukan cuma wacana.
Banjir dan gempa ini datang di waktu yang berbeda, tapi punya dampak yang sama-sama bikin masyarakat terpuruk. Banyak rumah rusak, aktivitas lumpuh, dan korban jiwa pun jatuh. Kalau dilihat dari sisi waktu, dua kejadian ini seolah jadi alarm yang membangunkan kita dari tidur panjang soal pentingnya kesiapsiagaan terhadap bencana alam.
Refleksi Bencana Awal Tahun: Banjir Jakarta 2020 dan Gempa Sumba 2021
Banjir Jakarta 2020 terjadi saat hujan deras mengguyur wilayah Jabodetabek di malam pergantian tahun. Air datang tiba-tiba dan merendam ratusan titik di Jakarta, Bekasi, Tangerang, dan sekitarnya. Genangan bahkan mencapai atap rumah di beberapa daerah. Banyak warga terpaksa mengungsi karena rumah mereka sudah tidak bisa ditinggali.
Sementara itu, gempa di Sumba terjadi pada awal 2021. Meskipun tidak sebesar gempa-gempa besar sebelumnya, guncangannya cukup kuat untuk merusak bangunan dan bikin warga panik. Lokasi yang terpencil juga bikin proses evakuasi dan distribusi bantuan jadi lebih rumit.
Banjir Jakarta 2020: Bencana Tahunan yang Tak Kunjung Tuntas
Banjir Jakarta sebenarnya bukan hal baru. Hampir tiap tahun, hujan lebat pasti diiringi dengan genangan yang muncul di berbagai titik kota. Tapi yang terjadi di awal tahun 2020 bisa dibilang parah banget. Data dari BNPB menyebutkan bahwa banjir ini merendam lebih dari 300 titik, dengan ketinggian air yang mencapai 3 meter di beberapa wilayah.
Penyebab utamanya masih klasik: curah hujan tinggi, sistem drainase yang buruk, serta tata ruang kota yang nggak ramah lingkungan. Air yang seharusnya bisa dialirkan ke kanal atau sungai malah menggenang karena salurannya mampet atau kapasitasnya sudah tidak memadai. Pemerintah memang bergerak cepat dengan menurunkan petugas dan menyalurkan bantuan, tapi tetap saja banyak warga yang merasa frustasi karena masalah ini terus berulang tiap tahun.
Banjir ini juga sempat menimbulkan polemik di media sosial. Netizen menyuarakan kekecewaannya terhadap pemerintah daerah yang dianggap tidak siap, bahkan ada yang menyindir lewat meme dan hashtag kritis. Namun di sisi lain, warga juga saling bantu satu sama lain lewat gerakan donasi dan posko darurat mandiri.
Gempa Sumba 2021: Ancaman dari Timur yang Sering Terlupakan
Jika banjir Jakarta jadi sorotan nasional, gempa di Sumba awal 2021 malah sempat luput dari perhatian besar. Padahal, guncangannya cukup kuat, dengan kekuatan magnitudo 6,1 yang terasa hingga beberapa wilayah sekitarnya. Banyak rumah retak bahkan roboh, terutama yang bangunannya belum tahan gempa.
Gempa ini memperlihatkan tantangan tersendiri, terutama karena letaknya yang cukup jauh dari pusat pemerintahan dan logistik. Tim penyelamat dan relawan harus menempuh perjalanan panjang untuk sampai ke lokasi terdampak. Konektivitas yang terbatas bikin proses dokumentasi dan pelaporan juga jadi lambat.
Selain itu, gempa ini juga menyorot persoalan kesiapan infrastruktur di kawasan timur Indonesia. Banyak bangunan yang dibangun tanpa perhitungan standar tahan gempa. Padahal, wilayah Indonesia bagian timur dikenal punya potensi gempa bumi yang tinggi karena letaknya di pertemuan lempeng aktif.
Mitigasi dan Edukasi: Dua Hal yang Belum Maksimal
Melihat dua bencana ini, kita bisa tarik kesimpulan bahwa mitigasi dan edukasi soal bencana di Indonesia masih belum maksimal. Masyarakat masih sering kaget dan tidak siap saat bencana datang, padahal Indonesia berada di salah satu jalur bencana paling aktif di dunia. Mulai dari gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, sampai erupsi gunung berapi, semuanya ada di negeri ini.
Sayangnya, pendekatan yang sering dipakai masih bersifat reaktif. Bantuan datang setelah bencana terjadi, bukan persiapan matang sebelum bencana datang. Padahal, edukasi publik soal evakuasi mandiri, peta rawan bencana, dan cara bertindak saat bencana terjadi harusnya jadi hal yang rutin dilakukan.
Perlu Komitmen Jangka Panjang dari Semua Pihak
Untuk benar-benar siap menghadapi bencana, Indonesia butuh lebih dari sekadar tanggap darurat. Yang dibutuhkan adalah perencanaan jangka panjang yang melibatkan semua elemen. Pemerintah harus konsisten membenahi infrastruktur, termasuk saluran air dan bangunan tahan gempa. Di sisi lain, masyarakat juga harus aktif ikut serta, mulai dari menjaga lingkungan sampai mengikuti pelatihan simulasi bencana.
Tantangan memang besar, apalagi di kota besar seperti Jakarta yang sudah padat penduduk dan punya masalah tata ruang yang kompleks. Tapi kalau tidak dimulai sekarang, dampaknya bisa lebih parah di masa depan. Begitu juga di daerah seperti Sumba, pembangunan harus dilakukan dengan memperhatikan potensi bencana alam yang ada.
Media Sosial Bisa Jadi Sarana Edukasi
Di era digital ini, media sosial bukan cuma jadi tempat berbagi info viral, tapi juga bisa dipakai buat edukasi kebencanaan. Banyak akun edukatif dan relawan yang mulai aktif memberikan informasi soal mitigasi, cara evakuasi, dan update kebencanaan secara real-time. Pemerintah juga bisa manfaatin platform ini buat menyebarkan info penting dengan cepat dan akurat.
Namun tetap harus hati-hati dengan penyebaran hoaks. Saat bencana terjadi, informasi yang salah bisa bikin panik dan memperburuk situasi. Karena itu, literasi digital juga penting supaya masyarakat bisa memilah mana info yang valid dan mana yang menyesatkan.
Kesimpulan
Refleksi dari banjir Jakarta 2020 dan gempa Sumba 2021 memberikan pelajaran penting tentang kondisi kesiapsiagaan bencana di Indonesia. Meski dua kejadian ini terjadi dalam konteks dan lokasi berbeda, dampaknya sama-sama besar. Dari sini, jelas bahwa Indonesia butuh sistem yang lebih kuat dan respons yang lebih cepat dalam menghadapi bencana.
Kita semua punya peran, baik sebagai warga, sebagai pemerintah, maupun sebagai bagian dari komunitas. Bencana memang tidak bisa dicegah sepenuhnya, tapi dampaknya bisa dikurangi kalau kita siap dan sadar akan potensi bahaya di sekitar. Semoga kejadian-kejadian ini jadi pemicu perbaikan, bukan sekadar kenangan buruk yang terulang tiap awal tahun.